Oleh : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman Lombok -hafizhohullohu ta’ala-
Sangatlah mengherankan, ternyata dari kalangan manusia ini ada yang menjadi
murid sekaligus kaki tangan setan, siap menuruti segala petuahnya serta siap
menjadi hamba dan budaknya. Dengan sikap ini, dia lancarkan segala manuver
penyesatan yang dilakukan oleh musuh Allah l dan musuh kaum mukminin, pemimpin
kejahatan, iblis la’natullah. Mereka adalah dukun dan tukang ramal.
Melalui murid, sang guru mendapatkan banyak peluang untuk melakukan penipuan
dan penyesatan. Bahkan sang guru telah menciptakan kondisi yang seolah-olah
umat ini tergantung dan tidak bisa terlepas dari dukun dan tukang ramal. Rumah
panggung yang sudah reot dipadati pengunjung dari berbagai penjuru, yang
semuanya ingin mengadukan nasib hidupnya. Padahal si dukun atau tukang ramal
itu sendiri tidak mengetahui nasib dirinya. Karena jika dia mengetahui nasib
hidupnya niscaya dia akan bisa mengubah nasibnya sendiri serta istri dan anaknya.
Kedustaan menjadi senjatanya yang paling ampuh. Kekufuran menjadi baju dan
selimutnya. Ilmu ghaib menjadi sandaran petuahnya. Padahal Allah l mengatakan:
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang di daratan dan
di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan dia mengetahuinya
(pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak
sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata
(Lauh Al-Mahfuzh).” (Al-An’am: 59)
As-Sa’di t berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan ayat yang paling besar
dalam merincikan luasnya ilmu Allah l, yang mencakup seluruh perkara ghaib.
Allah l mengajarkan sebagiannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. Namun
kebanyakan perkara ghaib itu disembunyikan ilmunya dari malaikat yang dekat
maupun para rasul yang diutus, lebih-lebih dari selain mereka. Allah l
mengetahui segala yang ada di daratan berupa berbagai macam hewan, pohon, pasir,
kerikil, dan debu. Allah l juga mengetahui segala yang ada di lautan berupa
berbagai macam hewan laut, segala macam tambang, ikan dan segala yang
terkandung di dalamnya serta air yang meliputinya…
Jika semua makhluk dari yang pertama sampai yang terakhir, berkumpul untuk
mengetahui sebagian sifat Allah l, niscaya mereka tidak akan sanggup dan tidak
akan mencapainya. Maka Maha Suci Allah Rabb yang Mulia, Maha Luas, Maha
mengetahui, Maha terpuji, Maha Mulia, dan Maha menyaksikan segala sesuatu,
tidak ada sesembahan selain-Nya. Tidak ada seorang pun yang sanggup memuji-Nya.
Dia adalah sebagaimana Dia puji Diri-Nya, dan di atas segala pujian
hamba-hamba-Nya. Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu Allah l mencakup segala
sesuatu dan bahwa kitab-Nya (Lauh Al-Mahfuzh) yang tertulis mencakup segala
kejadian.” (Tafsir As-Sa’di, 1/259)
“Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak
(pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku
mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan aku
tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan
pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’.” (Al-A’raf: 188)
Ibnu Katsir t berkata: “Allah memerintahkan kepada beliau agar menyerahkan
semua urusannya kepada Allah. Juga memerintahkan agar beliau memberitakan
tentang dirinya bahwa dia tidak mengetahui perkara ghaib. Tidaklah beliau
mengetahui perkara yang ghaib melainkan apa yang telah diberitahukan oleh Allah
l, sebagaimana firman Allah :
“(Dia adalah Dzat) yang mengetahui yang ghaib. Maka dia tidak memperlihatkan
kepada seorang pun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang
diridhai-Nya. Maka sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di
muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27) [Tafsir Ibnu Katsir, 3/523]
Jika imam para nabi dan rasul, Nabi kita Muhammad tidak mengetahui perkara
ghaib, apakah kemudian selain beliau patut untuk mengilmuinya dan menjadikannya
sebagai sandaran petuah? Apakah selain beliau n bisa menguasainya sementara
beliau n tidak? Tentu ini adalah bentuk kedangkalan akal dan kerusakan fitrah.
Mengenal Lebih Dekat Dukun dan Arraf
‘Arraf merupakan bentuk mubalaghah (penyangatan) dari kata ‘arif. Ada
sebagian ulama mengatakan bahwa ‘arraf itu sama dengan kahin (dukun) yaitu
orang yang memberitahukan tentang sesuatu yang akan datang. Sebagian yang lain
mengatakan ‘arraf adalah nama umum dari kata kahin, dukun, munajjim, rammal,
dan selainnya, yaitu orang yang berbicara tentang sesuatu yang ghaib dengan
tanda-tanda yang dia pergunakan.
Di antara alat yang dipergunakan untuk mengetahui perkara yang ghaib adalah:
pertama, melalui kasyf (baca: terawangan); dan kedua, melalui setan. Al-Imam
Al-Baghawi t mengatakan: “Arraf adalah orang yang mengaku mengerti suatu benda
atau barang yang dicuri, tempat hilangnya, atau selainnya, dengan tanda-tanda
tertentu.”
Kahin (dukun) adalah orang yang memberitahukan tentang terjadinya suatu
perkara ghaib pada waktu yang akan datang. Atau dengan kata lain, orang yang memberitahukan
apa yang ada di dalam hati. (Lihat Majmu’ Fatawa, 35/173)
Walhasil, ‘arraf dan kahin adalah orang yang mengambil ilmu dari mustariqus
sama’ (para pencuri berita dari langit) yaitu para setan. Rasulullah n telah
menceritakan dalam sebuah hadits tentang cara pengajaran ilmu perdukunan oleh
setan:
“Apabila Allah memutuskan sebuah urusan di langit, tertunduklah seluruh
malaikat karena takutnya terhadap firman Allah l seakan-akan suara rantai
tergerus di atas batu. Tatkala tersadar, mereka berkata: “Apa yang telah
difirmankan oleh Rabb kalian?” Mereka menjawab: “Kebenaran, dan dia Maha Tinggi
lagi Maha Besar.” Lalu berita tersebut dicuri oleh para pencuri pendengaran
(setan). Demikian sebagian mereka di atas sebagian yang lain –Sufyan
menggambarkan tumpang tindihnya mereka dengan telapak tangan beliau lalu
menjarakkan antara jari jemarinya–. (Pencuri berita) itu mendengar kalimat yang
disampaikan, lalu menyampaikannya kepada yang di bawahnya. Yang di bawahnya
menyampaikannya kepada yang di bawahnya lagi, sampai dia menyampaikannya ke
lisan tukang sihir atau dukun. Terkadang mereka terkena bintang pelempar
sebelum dia menyampaikannya, namun terkadang dia bisa menyampaikan berita
tersebut sebelum terkena bintang tersebut. Dia menyisipkan seratus kedustaan
bersama satu berita yang benar itu. Kemudian petuah dukun yang salah
dikomentari: “Bukankah dia telah mengatakan demikian pada hari demikian?” Dia
dibenarkan dengan kalimat yang didengarnya dari langit itu.” (HR. Al-Bukhari
no. 4522 dari sahabat Abu Hurairah z)
Rasulullah n menandaskan sebuah kedok dan sekaligus topeng mereka yang
dipergunakan untuk menipu umat, yaitu satu kali benar dan seratus kali
berdusta. Dengan satu kali benar itu, dia melarismaniskan seratus kedustaan
yang diciptakannya. Dan kedustaannya itu tidak dibenarkan melainkan karena satu
kalimat tersebut. (Lihat Tafsir As-Sa’di, 1/700 dan Al-Qaulus Sadid hal. 71)
Inilah sesungguhnya tujuan setan mencuri kebenaran dari langit, yaitu menipu
manusia dan mencampurkan kebenaran dengan kebatilan serta mengaburkan kebenaran
tersebut dengan kebatilan. Jika mereka membawa kebatilan yang murni, niscaya
tidak ada seorang pun membenarkannya. Namun jika mereka mencampurkan kebatilan
itu dengan sedikit kebenaran, akan menjadi fitnah (ujian) bagi orang yang lemah
iman dan akalnya. (Lihat I’anatul Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid 1/408)
Ada tiga keadaan terkait dengan guru-guru dukun dan tukang ramal, yaitu para
pencuri kebenaran dari langit:
Pertama: Sebelum diutusnya Rasulullah , jumlah mereka banyak sekali.
Kedua: Setelah diutusnya Rasulullah . Dalam kondisi ini, tidak pernah
terjadi pencurian berita dari langit. Kalaupun terjadi, itu jarang dan bukan
dalam hal wahyu Allah l.
Ketiga: Setelah beliau meninggal dunia. Kondisinya kembali kepada kondisi
pertama, namun lebih sedikit dari kondisi sebelum diutusnya Rasulullah n.
(Tamhid Syarah Kitab At-Tauhid, 1/447)
Benarkah Dukun dan Tukang Ramal Mengetahui Nasib alias Hal Ghaib?
Permasalahan perkara ghaib, ilmunya hanya di tangan Allah semata. Tidak ada
sedikit pun ilmunya di tangan manusia. Jika ada orang yang mengaku mengerti
ilmu ghaib berarti dia telah berdusta dan telah melakukan kekafiran yang nyata.
Allah l berfirman:
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali dia sendiri.” (Al-An’am: 59)
“Katakanlah: ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui
perkara yang ghaib, kecuali Allah’, dan mereka tidak mengetahui bila mereka
akan dibangkitkan.” (An-Naml: 65)
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari
kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam
rahim dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan
diusahakannya besok dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana
dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (Luqman:
34)
“(Dia adalah Dzat) yang mengetahui yang ghaib. maka dia tidak memperlihatkan
kepada seorang pun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang
diridhai-Nya. Maka sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat)
di muka dan di belakangnya. Supaya dia mengetahui, bahwa sesungguhnya
rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Rabbnya, sedang (sebenarnya)
ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan dia menghitung segala sesuatu
satu persatu.” (Al-Jin: 26-28)
Masih banyak lagi dalil yang menjelaskan masalah ini, baik di dalam
Al-Qur’an atau di dalam hadits.
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Ilmu ghaib … sebuah sifat yang khusus bagi
Allah l, dan semua yang diberitakan oleh Rasulullah n tentang perkara ghaib
adalah pemberitahuan Allah l, bukan semata-mata dari beliau.” (Fathul Bari,
9/203)
Rasulullah n mengingkari ketika diri beliau dianggap mengetahui perkara
ghaib, sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari t dari Rubayyi’ bintu
Mu’awwidz bin ‘Afra x. Dia berkata: “Tatkala Rasulullah walimatul ‘urs
denganku, beliau duduk seperti duduknya dirimu (maksudnya perawi, red.) di
hadapanku. Mulailah budak-budak wanita memukul (duff/semacam rebana) dan berdendang
tentang ayah-ayah mereka yang terbunuh pada perang Badr. Di saat itu, salah
seorang mereka berkata: ‘Dan di tengah kami ada seorang Nabi, yang mengetahui
perkara esok hari.’ Beliau lalu berkata: ‘Tinggalkan ucapan ini! Katakanlah
seperti ucapan yang telah engkau ucapkan’.”
Hadits ini menunjukkan, tidak benar jika seseorang berkeyakinan bahwa
seorang nabi, wali, imam, atau syahid, mengetahui perkara ghaib. Sampai pun di
hadapan Rasulullah n, keyakinan ini tidak boleh terjadi.” (Risalatut Tauhid,
1/77)
Pembaca yang budiman. Jika Rasulullah n sebagai imam para nabi dan rasul
tidak mengerti perkara ghaib, apakah masuk akal jika selain mereka dapat
mengetahuinya? Dari sini jelaslah bahwa pengakuan mengetahui perkara ghaib
adalah sebuah kedustaan yang nyata. Tampilnya para dukun dan tukang ramal yang
mengaku mengerti hal itu merupakan dajjal.
Bolehkah Mendatangi Dukun dan Tukang Ramal?
Telah jelas dalam pembahasan di depan tentang hakikat dukun, siapa dia dan
bagaimana kiprahnya di tengah umat sebagai “jagoan dalam berpetuah” tentang
nasib seseorang. Lalu bagaimanakah hukum mendatangi mereka dan bertanya dalam
berbagai persoalan kelangsungan hidup, susah atau senang, beruntung atau gagal,
celaka atau selamat, dan sebagainya? Telah dibahas oleh para ulama hukum
mendatangi mereka:
Pertama: Mendatanginya untuk bertanya tentang sesuatu tanpa membenarkan apa
yang dikatakan. Ini termasuk sesuatu yang haram dalam agama. Ancamannya, tidak
akan diterima shalatnya 40 malam, sebagaimana dalam hadits:
“Barangsiapa mendatangi tukang ramal,
lalu dia bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak akan diterima shalatnya
40 malam.” (HR. Muslim no. 2230 dari istri Rasulullah n)
Kedua: Mendatangi mereka untuk bertanya kepadanya dan dia membenarkannya,
maka dia telah
“Barangsiapa mendatangi dukun –Musa (perawi hadits) berkata: lalu dia
membenarkan petuah dukun tersebut; kemudian mereka berdua sepakat dalam
periwayatannya– atau mendatangi istrinya –Musaddad berkata: istrinya dalam
keadaan haid– atau dia mendatangi istrinya –Musaddad berkata: istrinya pada
duburnya– maka sungguh dia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan oleh
Allah kepada Muhammad.” (HR. Abu Dawud no. 9304 dari sahabat Abu Hurairah z dan
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)
Ketiga: Mendatangi mereka untuk mengujinya apakah dia benar atau dusta
sekaligus untuk membongkar kedoknya, memperlihatkan kelemahannya. Tentunya dia
memiliki ilmu untuk menilai benar atau dusta. Ini dibolehkan, bahkan terkadang
hukumnya wajib, sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari (no. 1289) dan
Muslim (no. 2930) bahwa Nabi n bertanya kepada Ibnu Shayyad: “Apa yang telah
datang kepadamu?” “Telah datang kepadaku orang yang jujur dan pendusta.”
Rasulullah n bertanya: “Apa yang kamu lihat?” Dia berkata: “Aku melihat Arsy di
atas air.” Beliau bertanya: “Sesungguhnya aku telah merahasiakan sesuatu apakah
dia?” Dia berkata: “Dukh, dukh (asap).” Rasulullah n berkata: “Diamlah. Engkau
tidak memiliki kemampuan melainkan apa yang telah diberikan oleh Allah
kepadamu. Sesungguhnya engkau tidak lebih dari dukun seperti teman-temanmu.”
(Lihat Majmu’ Fatawa, 4/186 dan Al-Qaul Al-Mufid, 1/397)
Jaringan Dukun dan Tukang Ramal serta Silsilah Ilmu Mereka
Telah lewat bahwa perdukunan dan peramalan itu sebuah kekufuran. Untuk
mengerti berita tentang orang yang datang bertanya dan tentang barangnya yang
dicuri, siapa yang mencurinya, barangnya yang hilang dan di mana tempat
hilangnya, di sinilah letaknya kerja sama yang baik antara setan di satu pihak
dengan dukun atau tukang ramal di pihak yang lain. Muhammad Hamid Al-Faqi
berkata dalam komentarnya dalam kitab Fathul Majid (hal. 353): “Adanya hubungan
intim antara qarin dari jin dengan qarin dari manusia, keduanya saling
menyampaikan dan mencari berita yang disukai. Qarin dukun dan tukang ramal ini
mencari berita dari qarin orang yang datang bertanya, karena setiap manusia
memiliki qarin dari kalangan setan, sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Lalu qarin orang yang bertanya itu memberitahukan kepada qarin
dukun atau tukang ramal tersebut segala sesuatu yang merupakan perihal
kebiasaan orang yang datang bertanya, dan perihal di rumahnya.”
Orang-orang jahil menduga bahwa ini terjadi dari buah keshalihan atau
ketakwaan dan karamah. Dengan kebaikannya, dia telah membuka tabir tentang
semuanya. Ini termasuk kesesatan yang paling tinggi dan kehinaan yang paling
rendah, meskipun banyak orang telah tertipu bahkan orang yang dikatakan berilmu
dan baik.”
Wallahu a‘lam.
Sumber :
Majalah
Asy-Syariah